Lelaki Bangsat dan Anak Terkutuk Vol 1
Anda tahu siapa lelaki
bangsat? Ayah yang memperkosa putri
sendirikah?
Pernahkah Anda melihat
bebek, kambing, atau hewan lainnya? Tetangga saya punya kebun binatang kecil di
belakang rumah, jadi kebetulan saya sering bertemu mereka---kaum hewan. Contoh
pertama adalah bebek. Bebek jantan biasanya akan mengejar si betina tanpa ampun,
jika sedang kebelet. Padahal si betina belum tentu sudi bercinta dengannya.
Atau mari lihat contoh lainnya, kambing. Saya sering muak, tapi maklum ketika
tak sengaja mendapati kambing di dekat saya teriak mengembik-embik sambil
gedebukan. Kata pemiliknya, si ibu kambing itu, sedang menolak untuk
ditunggangi pejantan di sampingnya yang gagah (ehe?). Anehnya, si ibu kambing tadi tidak menolak ketika digauli
anaknya sendiri, kambing jantan---yang jika ditaksir dan diibaratkan manusia,
sedang memasuki usia remaja. Aneh, memalukan, dan bedebah sekali, bukan? Namun,
kembali lagi. Maklumlah, hewan.
Sekarang dua kasus tadi
mari dijejerkan. Bukankah kasus 1, ayah yang memperkosa putrinya sendiri dan
kasus 2, bebek atau kambing tadi, berada pada garis yang sejajar? Apa artinya
si ayah dengan si bebek atau kambing adalah sama? Dia hewan atau manusia,
sebenarnya? Oh, lelaki keparat.
Tetapi tunggu. Saya tidak
membahas lelaki bangsat yang ini. Ada lelaki bangsat model lainnya.
Ada lelaki yang gila.
Dia menikahi seorang perempuan, mempunyai anak-anak, dan sebuah gambaran
keluarga sederhana, lengkap, dan bahagia. Dalam perjalanan hidup berkeluarga,
saat usianya menginjak dewasa<x<tua, dia punya gagasan untuk tidak perlu
bekerja. Otomatis, istri yang memang dari dulu ikut membantunya bekerja,
sekarang lebih ekstra bekerja karena beban ekonomi keluarga dijatuhkan paksa
padanya. Lelaki itu, suami, dan ayah … bukan sedang sakit, dalam tahap
pemulihan, kehilangan pekerjaan, bangkrut, atau punya berjuta laksa alasan
lainnya---yang dapat dipahami jika seorang kepala keluarga tidak dapat menjalankan
tugasnya.
Ada apa dengannya? Kala
ditanya mengapa, dia bilang, “Aku sudah
capek, sejak dulu bekerja.” Saya sebagai pengamat, refleks berharap semoga
Izrail juga sudah capek menunggu, lalu memohon pada tuhan agar bisa segera
melaksanakan tugasnya pada lelaki tadi. Nasihat, keluh, marah, ancam, dendam,
atau bahkan hukum karma sudah tidak mempan untuk menggugah kesadarannya. Seolah
derita, sedih, dan kehancuran adalah hal yang diharapkan lelaki pada
keluarganya yang tak salah.
Bagaimana solusi untuk
keluarga tersebut? Andai si suami, si ayah, itu sakit pada kejiwaannya, mungkin
akan lebih indah. Beda untuk masalah ini. Siapa yang bisa mengobati atau
menjual obat---selain Tuhan dan lelaki itu sendiri, tentunnya---agar dia pulih
seperti sediakala? Sebenarnya, apa motif, substansi, dan tujuannya menikah? Apa
benar karena disebabkan cinta, membangun cinta, dan ingin menebar cinta?
Jangan-jangan, dulu tak pernah terlintas sedikit pun di pikirannya tentang
cinta dan konsekuensi dari menikah. Mungkin peta di pikirannya hanya tentang
bagaimana cara untuk menyalurkan nafsu kelelakiannya dan di kemudian hari bisa
mengeksploitasi tenaga istri-anaknya, dengan cara mudah---menikah, lalu tinggal
hidup ongkang-ongkang kaki dan mengeraskan hati. Mungkin. Atau jangan-jangan,
dulu dia pernah cinta dan bermimpi menebar cinta ..., tapi apa yang mengubah
perangai dan pikirannya sehingga bertolak belakang seperti sekarang?
Anda, meskipun seorang
lelaki, pasti akan mengecam lelaki bangsat tadi, ‘kan? Maka apa hukumannya
seseorang menikah, tetapi dengan sengaja tidak mau menjalankan kewajibannya?
Apa hukum bagi pernikahan yang hanya mencipta sengsara dan luka?
Bayangkan akibat dari
kebangsatan si lelaki. Si istri harus bersusah, payah, menderita berlipat
ganda. Sebagai suami bagi suami dan anak-anak, dia memeras otak dan otot untuk
mencari nafkah. Sebagai istri dia harus tetap melayani suami bangsat. Dilanda
dilema untuk tetap menjadi budak atas dasar sabar dan mempertahankan keluarga
atau melawan kezaliman, tapi dengan efek kehancuran rumah tangga. Meski sebenarnya antara noncerai atau
bercerai, keluarga dan kejiwaan diri serta anaknya sudah tercerai berai.
Broken. Sebagai perempuan dan ibu yang mendapat ketidakadilan sedemikian
rupa, saya bertaruh, dia akan berubah menjadi lebih emosional, temperamental,
atau lebih buruk lagi, suicidal.
Kecuali jika perempuan tersebut berhati bidadari, akan lebih mendingan. Tapi
probabilitas munculnya sifat bidadari meski telah disakiti, menurut saya,
laksana peluang adanya permata dalam bertruk-truk pasir bahan bangunan. Nyaris
… mustahil.
Si ibu, karena lelah
dan frustasi, akan lebih suka memaki, pada kesalahan kecil sekalipun. Dia giat
mengeluh atau berdoa segera mati---karena suami bangsatnya meski sudah didoakan
mati berkali-kali, tapi malah seolah makin abadi. Percekcokan, sumpah serapah,
kerenggangan, tandusnya kasih sayang dalam keluarga tersebut, tidak bisa
dielakkan lagi.
Mirisnya adalah
anak-anak mereka. Situasi dan kondisi keluarga yang penuh huru-hara, menempa
mereka menjadi pribadi yang agak nakal.
Anda bisa menebak banyak efeknya. Kemungkinan pertama, cukup baik, anak-anak akan mendewasa dan berjanji untuk
menjadi ibu atau ayah yang lebih baik lagi bagi anak-anak mereka, nantinya. Mengusahakan
agar nasib keturunanya tidak akan sama atau lebih buruk dari pengalamannnya. Kedua, cukup ekstrim, anak-anak
mencerna kepahitan hidup bukan sebagai pelecut untuk menjadi manusia baik.
Mereka malah menyalahkan orang tua, arkian menjerumus dalam pergaulan bebas,
mabuk-mabukan, dan berbagai tindak kriminalitas. Ketiga, berpengaruh pada perangai anak-anak itu sendiri. Menjadi
lebih pendiam, menutup diri, pemarah, mendendam pada si ayah, atau secara
terang-terangan melakukan perlawanan. Mereka memutuskan, jika ayah tidak
melaksanakan kewajibannya dengan sengaja, maka gugurlah hak untuk mendapat
penghormatan dari anak. Dan sebagainya.
Anak-anak akan
mendewasa. Orang tua sebelumnya, pasti pernah muda. Suatu bangsa menjadi
berbangsa-bangsa, semua berasal dari suatu kompleks bernama keluarga. Maka
untuk membentuk persona-persona yang baik, seharusnya orang tua dan keluargalah
yang berperan memberi fondasi untuk kebaikan itu sendiri.
Urutan kehidupan, baik
buruk, itu dari siapa? Orang tua lalu anak/persona (karena melahirkan) atau
persona lalu menjadi orang tua (karena menikah)? Ini bukan tentang siapa yang
paling awal ada dan membuat ada siapa, tapi tentang timbal balik yang saling
mempengaruhi dan menjadi siklus serta hukum sebab akibat.
Namun, orang tua maupun
anak/persona, keduanya pasti melewati fase yang bernama pernikahan. Jika Anda
menikah dengan seseorang---dengan tiada membahas ajaran-Nya, maaf, apa alasan
Anda menikahinya? Eloknya rupa, harta-jabatan-kemapanan, dan cinta---berdasarkan kasus “Lelaki
Bangsat dan Anak Terkutuk” di atas, tampaknya bisa mengalami perubahan antara
sebelum dan sesudah menikah. Sebaiknya, menikah dengan orang seperti apa? Saya
pernah berpikir, bahwa andai memiliki pasangan dan keluarga yang bisa diajak
berpikir jernih, saling terbuka, saling mengajukan pendapat dan alasan
masing-masing---ditambah dengan sikap ilmiah (ahahaha)---niscaya akan tercipta ‘aa-ilatun thoyyibatun wa robbun ghofuurun’.
Bagaimana dengan Anda?
Senin, 8 April 2019.
Tubir pantura, dalam riuh karnaval peringatan putri Indonesia.
wueshh.. sebuah pemberontakan yg estetis. make a sense. dan.. satire. weheee aku tunggu yg lebih sarkasss
ReplyDelete