Rajungan, Kepiting, Sipan, Cope, Ikan, dan Dunia Nelayan Rajungan

Di wilayah sekitar pantai utara, sebagian besar masyarakatnya berprofesi sebagai nelayan. Sebagai contoh, adalah Desa Kemanten, Jawa Timur. Para nelayan di sana, menggunakan peralatan berupa jaring atau wuwu, untuk menangkap target utama, yaitu rajungan.



Berdasarkan cerita beberapa nelayan di sana, mereka berangkat pada tengah malam, melaut, untuk mengambil wuwu yang sudah dipasang alias ditinggal di laut sejak kemarin paginya.

Jika beruntung, perangkap mereka akan dipenuhi dengan rajungan, kepiting, cope (keong berkulit cokelat bentol-bentol), sipan (keong berwarna kelabu), ikan, dan sebagainya.

Setelah mengumpulkan hasil tangkapan dari perangkap dan memasukkannya ke timba besar (biasanya menggunakan timba bekas cat), mereka akan memasang umpan baru lagi. Ikan Mbelo (entah, apa bahasa Indonesianya wkwk), dsb, yang sudah dipotong jadi dua bagian dan sudah digarami, dimasukkan ke wuwu untuk menarik perhatian pasukan laut agar terperangkap. Wuwu akan ditenggelamkan, dan baru dijemput esok harinya.

Rampung dengan urusan tengah laut, para nelayan pulang. Rajungan yang diperoleh, nantinya akan dijual. Bisa berupa rajungan yang masih mentah (hidup atau mati), atau matang.

Harga rajungan tidak menentu. Bisa naik-turun, antara 150 ribu sampai 310 ribuan untuk dagingnya. Tergantung harga yang sudah ditetapkan oleh pabrik. Sedangkan harga rajungan mentah, menyesuaikan dengan harga dagingnya.

Saat ini (bulan April 2019), harga daging rajungan perkilo, adalah 190 ribu rupiah. Untuk rajungan mentah, harga perkilonya kurang lebih 70 ribuan untuk yang berukuran sedang sampai besar, dan berkualitas bagus alias tidak kerempeng. Tiga kilo rajungan mentah, biasanya akan menghasilkan sekilo daging rajungan. Hal ini membuat para isteri nelayan lebih sering tergiur untuk menjualnya dalam keadaan mentah. Sebab jika dikalkulasi, akan lebih memberi keuntungan.

Jika tidak dijual mentah, rajungan akan direbus (dengan air yang sangat sedikit karena tubuhnya sudah mengandung air), selama sekitar 25 menit. Sesudahnya, masuk ke proses pemisahan kulit rajungan.

Rajungan dengan cangkang keoranyean, dipisahkan setiap bagian tubuhnya. Enam jari kaki, 2 capit, dan 2 (jempol atau kelingking, ya?), dan tubuhnya bagian tengahnya. Masing-masing dikuliti untuk diambil dagingnya. Perlu teknik khusus untuk membuat si daging terambil secara utuh dan berbentuk. Alat yang biasa digunakan, hanyalah beberapa wadah, gunting, dan pisau tumpul (bekas patahan gunting rusak yang sudah dilas).

Setelah beres, dagingnya dijual ke tempat penyortiran. Di tempat itu, daging rajungan masih harus dipilah-pilah dan dikelompokkan sesuai ukuran dan kualitas daging anggota badan rajungan.

Tahap terakhir, adalah mengirimnya ke pabrik. Dari sini, daging rajungan sudah tidak berada dalam kendali para nelayan, dan masyarakat desa lagi. Melainkan di tangan tenaga pabrik untuk diproses lebih lanjut, sampai ke tangan para distributor atau konsumen (restoran) yang nantinya diolah menjadi berbagai macam makanan.



NB:
Di atas hanyalah alur pendek tentang nelayan rajungan. Namun, pekerjaan nelayan tidak semudah itu. Masih banyak proses lain untuk bisa mendapatkan tangkapan. 

Ada yang bilang, bahwa nelayan adalah pekerja mandiri karena tidak menunggu belas kasih pemerintah untuk menggajinya. Benar, tapi padanya, banyak yang dipertaruhkan dan bahaya yang mengancam. 

Baru-baru ini, saya terkadang berpikir. Apakah ada alternatif lain selain menjadi nelayan? Bagaimana jika beberapa tahun lagi, manusia dikejutkan, bahwa samudera tidak lagi bersahabat dan kekayaan di dalamnya menipis? 

Tulisan ini masih bisa dilebarkan lagi dari beberapa sisi. Banyak istilah yang mungkin pembaca sekalian belum mengerti. Barangkali saya akan menulisnya lain kali. 

Kritik, komentar, saran, atau ajakan diskusi tentang hal di atas, akan sangat menyenangkan bagi saya. Silakan menghubungi lewat messenger: Permata Aksara, atau instagram: @permataaksara1. 


Tubir pantai utara, 7 April 2019.

Comments

Popular posts from this blog

5 Mengapa untuk Inti Idemu

Indonesia Berliterasi

Problematika Literasi