Tere Liye Menulis "a"

Mengapa (Tere Liye) menulis?

Di sekitar kita jarang sekali yang menjadi penulis. Profesi yang sangat langka di Indonesia ialah sebagai penulis buku. Ironisnya adalah, banyak orang---para presiden sampai guru sering membicarakan literasi. Pertanyaannya adalah, jika anak-anak bangsa disuruh membaca, mereka akan membaca apa? Ketika membeli buku di gramedia, mereka disuruh beli buku apa? Karena pada zaman 2002/2003/2004, yang ada hanyalah buku tentang hantu, pocong, chicklit, teenlit, atau pacaran.


Setelah menulis banyak buku, apakah tujuan dan target penulis (Tere Liye) tercapai?

Tidak, meski telah 12 tahun dan berhasil menerbitkan 33+ novel. Karena ada isu yang lebih menarik dan penting sekali. Siapa yang akan meneruskan dan mewarisi tradisi menulis tersebut? Maka bijak bagi seorang penulis, untuk membagi pengetahuan---menulis---yang dimiliki, kepada orang lain.

Beberapa buku Tere Liye.
Sumber gambar: google


Mengapa penulis novel memakai nama samaran atau nama pena?

Menulis itu yang dikenal tulisannya, bukan penulisnya. Alasan lainnya, adalah karena yang ditulis itu buku fiksi, bukan nonfiksi. Sehingga tidak terlalu ada korelasi antara penulis dan yang menulis. Semisal seorang dokter menulis buku tentang kedokteran, penting bagi dia untuk mencantumkan riwayat kehidupan dan pendidikannya, untuk menunjukkan bahwa ia berkompeten di bidang itu.


Bagaimana mengatur waktu antara menulis dan bekerja atau kesibukan lainnya?

Semua orang punya waktu sama, 24 jam. Disadari atau tidak, manusia modern menulis di sosial media kalau dihitung, bahkan seperti menulis novel. Sejatinya, semua orang bisa menulis. Bedanya, ada yang bisa konkrit dan tidak.


Bagaimana membuat tulisan yang bagus?

Kuncinya adalah dibiasakan. Seperti saat seorang ayah disuruh memasak dengan bahan utama tempe untuk dijadikan 10 variasi masakan, dia sangat mungkin tidak akan bisa, karena ayah tidak biasa memasak. Atau, coba suruh dia mengepel. Barangakali dia akan mengepel sambil maju, bukan mundur.


Bagaimana untuk membiasakan menulis?

Tidak akan mudah membuat menulis menjadi kebiasaan. Butuh proses yang panjang. Belum lagi saat dihadapkan dengan komentar atu bully-an orang. Membiasakan menulis bisa jadi merupakan hal paling rumit dalam abad ini---karena keasyikan berceloteh di sosial media tanpa tujuan yang konkrit yaitu menulis buku. Maka, perlu dibiasakan menulis di mana saja dan waktu luang kapan saja karena adanya kemudahan menulis menggunakan laptop atau hape yang mudah dibawa dan canggih. Sedangkan pada zaman dulu, untuk bisa menulis, seseorang harus menggunakan kertas atau mesin tik---keterbatasan teknologi. Maka, mari geser kebiasaan menulis di dunia maya menjadi hal nyata. Gerakkan kegiatan menulis seribu kata per hari selama 180 hari tanpa pernah alpa. Jika alpa sehari saja, maka perhitungannya dimulai dari hari pertama lagi.

Tere Liye pernah berkata, "Seorang  anak muda yang berlatih menulis seribu kata per hari, non stop selama 180 hari, dia akan mencapai level menjadi penulis." Menulis tanpa absensi sehari pun. Dan jika pada hari ke-30 ternyata ketiduran, misalnya, ulang dari hari pertama. Pastikan tidak pernah putus dari hari pertama sampai 180.

Kemudian pada hari ke-181, berhenti. Baca tulisan itu dari awal. Mungkin penulis tadu akan tertawa, merasa lucu atau bahkan konyol. Baca terus. Sampai seseorang tadi menyadari kalau tulisannya ternyata lumayan bagus. Kemudian, kumpulkan tulisan-tulisan yang cukup bagus tadi. Tarik benang merahnya, bukukan, dan kirim ke penerbit.

Jikapun dia ditolak---gagal, ulangi latihan 180 hari menulis tadi. Percayalah,  hasil akan berbanding lurus dengan usaha.


Apa level setelah terbiasa menulis?

Riset---riset terbaik yaitu observasi lapangan. Buat saja permisalan. Ibaratkan kita punya 6 gelas kosong di atas meja. Kita disuruh mengisinya dari sebuah ceret. Jika ceretnya kosong, jangankan mengisi penuh, menetes pun tidak akan. Penulis juga sama. Bagaimana dia akan menulis, jika tidak punya amunisi-amunisi---pengetahuan, wawasan, di kepalanya? Maka, bagi penulis, banyak-banyaklah baca buku. Penulis yang tidak suka membaca buku, itu mustahil. Ingat, buku. Bukan sosial media. Ada yang mengatakan, bahwa sosial media itu celoteh yang mengambil wujud tulisan, tapi bukan literasi. Cara selanjutnya yaitu dengan sering melakukan perjalanan dan bertemu dengan banyak orang---ngobrol dengan mereka, ambil kemanfaatan dari mereka. Dengan itu, ide atau proses kreatif akan berjalan dengan lancar.


Sumber: disarikan dari talk show Tere Liye di you tube. 

Minggu, 12 Mei 2019 M/7 Ramadhab 1440 H.

#Tebar Kebaikan
#Callenge IAS - 7

Comments

Popular posts from this blog

5 Mengapa untuk Inti Idemu

Indonesia Berliterasi

Problematika Literasi